Laman

Kamis, 01 November 2012

Siapakah Wali Nikah,Haruskah ia ashabah ?

Jumhur Ulama seperti : Malik,Tsauri Laits,dan Syafi'iy berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah ahli waris,tetapi bukan paman dari ibu,bibi dari ibu,saudara seibu dan keluarga dzawil arham. Syafi'i berkata : "Nikah seorang wanita tidak dapat di lakukan kecuali dengan pernyataan wali qarib,jika ia tidak ada maka dengan wali jauh,dan jika ia tidak ada maka dengan wali Hakim."

Jika wanita menikahkan dirinya dengan izin walinya atau tanpa izin walinya maka nikahnya itu bathal dan tidak berlaku.
Tetapi menurut Abu Hanifah,keluarga bukan 'Ashabah boleh menjadi wali dalam perkawinan.

Tentang masalah ini,pengarang kitab "Raudhah Nadiah" setelah mengadakan penelitian,berkata : "para wali adalah mereka yang dekat dengan calon pengantin wanita. di mulai dari yang terdekat  dan seterusnya dan mereka ini merasa marah atas tindakan wanita kalau ia kawin dengan laki-laki yang tidak sederajat,dan perkawinanya diluar sepengetahuan mereka."

Kalau ma'na ini yang di maksud dengan Wali maka rasa kemarahan itu tidak dapat di rasakan oleh wali 'Ashabah saja,tetapi semua yang merasa mempunyai hubungan keluarga dengan wanita tersebut,seperti paman dari ibu dan dzawil arham lainya.
karena itu tidak ada alasan pengkhususan wali pernikahan pada 'ashabah saja.
Siapa yang berpendapat begitu wajiblah ia memberikan dalilnya atau riwayatnya.
Kata lagi : "Tidak ragu bahwa sebagian kerabat kedudukanya lebih utama itu tidaklah di ukur dari harta,seperti halnya dengan warisan atau mewalikan anak kecil,tetapi karena  sesuatu yang lain,yaitu adanya rasa marah pada kerabat bilamana wanita yang bersangkutan mengakibatkan aib bagi mereka. Dalam hal ini pertimbangan tidak hanya berlaku bagi 'ashabah saja,tetapi juga bagi yang lain.
Tidaklah di ragukan bahwa sebagian keluarga lebih merasa berkepentingan dalam perkawinan ini dari sebagian lainya seperti ayah dan anak laki-laki,kemudian saudara laki-laki sekandung,saudara laki-laki sebapak atau seibu,dan seterusnya...

 Siapa yang Beranggapan mereka ini lebih utama satu dari yang lain,Hendaklah memberikan Alasanya.

Nikah Bathil jika tanpa wali sebagaimana yang di sebutkan dalam Hadits Rasulullah,Menurut faham saya pribadi adalah bukan Haram hukum pernikahanya akan tetapi Makruh pernikahanya dan tetap sah Nikahnya dan tidak ada perzinahan setelah pernikahan. Akan tetapi lebih membuang keraguan,menghindari main-main dalam pernikahan dan menjaga keutuhan keluarga serta keadilan maka Sahkan urusan pernikahan itu tercatat di dalam buku pernikahan yang di saksikan oleh Qodhi atau Hakim Nikah negara,dan warga Ramai.Sebab Negara dan bangsa sudah membentuk Pemerintahan,berbeda dengan zaman sebelum terbentuk sebuah pemerintahan apalagi Islam atau muslimin dahulu belum seperti sekarang, pada masa itu cukuplah dengan Wali,sehingga Nikah tanpa Wali di ancam keras "ايما امرأة نكحت بغير اذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل. فان دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها, فان اشتجروا فا السلطان ولي من لا ولي له "
Artinya : "Dari 'Aisyah, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
" Siapapun di antara wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahanya batal 3X, jika suaminya telah menyenggamainya maka ia berhak atas maharnya,karena ia telah menghalalkan Farjinya. jika pihak wali enggan menikahkan maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi wanita yang tidak ada wali". (H.R. Ahmad,Abu dawud,Ibnu majah,Tirmidzi, dan ia menambahkan: Hadits ini Hasan. kata qurtubi : Hadits ini Shahih ).

Jelas Setelah di katakan "Nikahnya bathi 3X" akan tetapi Suami tetap bisa memberikan mahar atau isteri minta mahar sebab sudah terlanjur menyenggamai isterinya. andai kata "Bathil" itu di artikan Haram hukum pernikahan dan mereka telah jatuh Zina maka untuk apa Si perempuan berhak atas mahar...! dan Tidak ada penjatuhan Hukum Had zina di situ. selanjutnya Sultan atau Hakim punya Haq menjadi Wali bagi wanita yg tanpa Wali. ini sekaligus menunjukkan bahwa Wali 'ashabah itu bukan Syarat muthlaq dalam pernikahan dan justeru Kontradiksi dengan Taklif Kemerdekaan seorang yang sehat dan berakal, apabila wanita di wajibkan mengambil izin wali 'ashabah saja.

Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar