Fase. Nabi Muhamad
Setelah
Nabi Isa diangkat oleh Allah, era para nabi “jalur” Israil berakhir.
Posisi kenabian kemudian beralih dari “jalur” Israil (Ya’qub) kepada
“jalur” Ismail (Banu Ismail), yakni Muhammad saw. Masa peralihan ini
memakan waktu yang cukup lama (577 tahun), yakni sejak tahun 33 M
(ketika Palestina dalam kekuasaan bangsa Romawi) hingga tahun 610 M
(permulaan kenabian Muhamad saw. di Gua Hiro). Masa ini oleh para ulama
disebut masa fatroh.
Sejak
abad ke-7 mulailah terjadi kontak antara Islam dan Palestina. Pada masa
ini kawasan yang disebut Syam (Suriah) termasuk di dalamnya Palestina.
Kontak awal Palestina dengan Islam terjadi ketika Nabi Muhammad saw.
mengadakan perjalanan ilahiah (isra), yaitu perjalanan Nabi saw. pada
malam hari dari Mekah ke Yerusalem. Hal ini terdapat dalam surah al-Isra
ayat 1 yang artinya: “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa...” Yang
dimaksud Masjidil Aqsa tersebut bukanlah dalam wujudnya seperti yang
sekarang ada di Yerusalem, karena mesjid ini didirikan pada tahun 705
oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Dinasti Umayyah. Sedangkan
Masjidil Aqsa yang dimaksud adalah masjid yang pada masa Nabi saw. hanya
merupakan haekal atau tempat yang mulia (Yerusalem) yang dibuat pada
masa Nabi Sulaiman as. Di tengah-tengah haekal itu terdapat sebuah batu
besar berwarna hitam yang disebut shakra’. Dengan menghadap ke arah batu
inilah Nabi saw. mengerjakan salat dua rakaat; kemudian dengan
berlandaskan padanya beliau dinaikkan oleh Allah swt. untuk mikraj.
Yahudi di Jazirah Arab
Pada
tahun 500 – 600 M, Bangsa Yahudi merembes ke semenanjung Arabia,
kemudian berimigrasi dalam jumlah besar ke daerah tersebut ketika
terjadi perang antara Romawi dengan Persia. Pada umumnya mereka tinggal
di Yaman dan Yatsrib. Mengenai awal mula kedatangan mereka ke Jazirah
Arabia telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ahli
sejarah: pertama, pada zaman Dawud; kedua, pada zaman Raja Hazqiyal yang
memerintah negeri Yahudza dari tahun 717 hingga 690 SM; ketiga, hijrah
besar-besaran kaum Yahudi ke Jazirah Arabia terjadi pada abad pertama
masehi setelah diusir oleh orang-orang Romawi pada tahun 70 M.
Ajaran-ajaran Yahudi di sana telah banyak dipengaruhi oleh kebudayaan
Yunani, begitu pula infiltrasi sebagian prinsip-prinsip undang-undang
Romawi. Sependek wawasan penulis, sejarah perihal pergumulan Islam
dengan Yahudi di Mekkah tidak sebanyak dan seseru di Yatsrib paska
hijrahnya Muslimin ke sana.
Di
Mekkah nasib mereka seperti umat Kristiani, jumlah mereka sedikit dan
hanya terdiri dari budak. Barangkali penyebabnya adalah adanya peraturan
kala itu yang tidak mengizinkan seorang pun dari Ahli Kitab memasuki
Mekkah kecuali tenaga kerja yang tidak akan bicara tentang agama atau
kitabnya atau sistem penduduk Mekkah yang merujuk pada sistem kabilah,
maka tempat tinggal mereka pun jauh dari Ka’bah malah sudah berbatasan
dengan sahara. Kala itu pembicaraan seputar akan datangnya seorang Nabi
di tengah-tengah orang Arab waktu itu sudah cukup membuat heboh mereka.
Saat bulan-bulan suci tepatnya di Ukadz, daerak dekat Mekkah,
sebagaimana kaum pagan dan Kristen, kaum Yahudi bebas juga bebas
menyerukan agama mereka. Besar kemungkinan, sebagian dari mereka tinggal
atau pernah singgah di Mekkah dalam rangka perdagangan atau
pekerjaan-pekerjaan lain dan juga menyaksikan perseteruan Islam versus
paganisme.
Ketika
Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah ia telah menemukan orang-orang
Yahudi sebagai suatu komunitas penting di sana. Maka sebagai penghargaan
terhadap mereka, Nabi Muhammad saw menyusun Piagam Madinah yang
mengatur hidup berdampingan antara umat Islam dan umat lain, termasuk
umat Yahudi. Namun, kemudian umat Yahudi mengkhianati perjanjian
tersebut, sehingga Alquran mengutuk mereka secara terus-menerus sebagai
orang yang mengkhianati janji dan mereka diusir dari Madinah. Tahun
636-1916 mereka berada di bawah kekuasaan Islam.
Kaum Yahudi di Yatsrib terdiri dari tiga suku besar, yaitu Bani Nadhir, Bani Qaynuqa dan Bani Quraydzah. Mereka menetap dan berkembang di sana beberapa abad lamanya sebelum kedatangan Islam. Adapun Islam sudah tersebar pula di sana sebelum Muhammad dan Muslimin hijrah ke kota itu. Sewaktu mereka tiba di sana, kaum Yahudi dan musyrik menyambut kedatangan mereka dengan baik. Pihak Yahudi berbuat demikian dengan dugaan mereka akan dapat membujuknya sekaligus merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah Jazirah Arabia, dengan demikian mereka dapat membendung penyebaran Kristen. Selain mereka yakin lahan dakwah Muhammad tidak akan meliputi mereka, mereka juga saat itu masih terpecah-belah yang memaksa mereka tidak terburu-buru menyatakan permusuhannya terhadap Muslimin seraya menanti waktu yang tepat untuk itu. Bertolak dari pertimbangan serupa, kaum musyrik sisa-sisa suku Aus dan Khazraj berbuat serupa seperti kaum Yahudi. Di balik itu secara diam-diam, sebagian kaum Yahudi sudah berniat jahat terhadap dakwah Islam sejak awal mula kedatangan Muhammad di Yatsrib, beliau pun telah menyadarinya.
Kaum Yahudi di Yatsrib terdiri dari tiga suku besar, yaitu Bani Nadhir, Bani Qaynuqa dan Bani Quraydzah. Mereka menetap dan berkembang di sana beberapa abad lamanya sebelum kedatangan Islam. Adapun Islam sudah tersebar pula di sana sebelum Muhammad dan Muslimin hijrah ke kota itu. Sewaktu mereka tiba di sana, kaum Yahudi dan musyrik menyambut kedatangan mereka dengan baik. Pihak Yahudi berbuat demikian dengan dugaan mereka akan dapat membujuknya sekaligus merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah Jazirah Arabia, dengan demikian mereka dapat membendung penyebaran Kristen. Selain mereka yakin lahan dakwah Muhammad tidak akan meliputi mereka, mereka juga saat itu masih terpecah-belah yang memaksa mereka tidak terburu-buru menyatakan permusuhannya terhadap Muslimin seraya menanti waktu yang tepat untuk itu. Bertolak dari pertimbangan serupa, kaum musyrik sisa-sisa suku Aus dan Khazraj berbuat serupa seperti kaum Yahudi. Di balik itu secara diam-diam, sebagian kaum Yahudi sudah berniat jahat terhadap dakwah Islam sejak awal mula kedatangan Muhammad di Yatsrib, beliau pun telah menyadarinya.
Di
Yatsrib (kemudian dirubah menjadi Madinah), Muhammad memulai fase
perpolitikan baru dengan tujuan meletakkan dasar kesatuan politik dan
organisasi yang sebelumnya belum pernah dikenal di seluruh wilayah
Hijaz, yaitu dengan cara mengadakan kesepakatan dengan pihak Yahudi atas
landasan kebebasan dan persekutuan yang amat kuat. Beliau berbicara
serta mendekati pemuka-pemuka mereka dan membentuk suatu ikatan
persahabatan dengan pertimbangan, bahwa mereka adalah Ahli Kitab dan
kaum monotheistis. Perjanjian ini berisi pengakuan atas kebebasan
beragama, harta beda benda mereka dengan syarat-syarat timbal balik,
kebebasan menyatakan pendapat, larangan berbuat kejahatan, bersama-sama
memerangi orang yang melanggarnya serta memerangi pihak yang menyerang
Madinah dan menanggung biaya peperangan itu atau lain sebagainya.
Secara
umum dapat digambarkan bahwa pertentangan antara Muslimin dengan kaum
Yahudi di Madinah dipicu faktor teologis yang sangat berpengaruh
terhadap faktor politik. Maka sudah sewajarnya, bila ayat-ayat al-Qur`an
yang turun di Madinah lebih terwarnai dengan pembeberan kemunafikan
Yahudi serta bahayanya, perdebatan dengan Ahli Kitab, menyingkap
kriminalitas mereka dalam merubah kitab suci, pensyariatan perang dan
lain sebagainya. Walaupun demikian, Muhammad acapkali tetap menghormati
mereka serta keyakinannya, tidak pernah mengusik jalannya ritual-ritual
keagamaan Yahudi. Inilah ilustrasi ajaran Islam sesungguhnya sebagai
agama penebar kasih sayang dan anti segala tindak kekerasan dan
kelaliman, selama mereka tidak mengganggu Islam & kaum muslimin.
Fase. Khulafa Rasyidun & Setelahnya
Setelah
Muhammad saw. wafat (tahun 632), ekspansi ke luar Semenanjung Arabia
dilakukan oleh para khalifahnya. Tanah Palestina ditaklukkan pada masa
Abu Bakar as-Siddiq (632-634). Amr bin As, setelah menaklukkan Gaza
(Mesir), secara berturut-turut menaklukkan Sabest (Samarra, Irak),
Nablus, Ludd dan daerah-daerah sekitarnya, Yupna, Awamas, Bait Jibrin
(Arab Saudi), Yafa dan Rafah. Abu Ubaidah di masa khalifah Umar bin
Khattab (634-644) berhasil menaklukkan Elia (sebutan Yerusalem di masa
itu).
Penaklukan
tentara Islam atas Palestina yang begitu cepat disebabkan oleh berbagai
faktor. Salah satunya adalah tekanan para penguasa Bizantium-Kristen
terhadap bangsa Sami. Meskipun sama-sama beragama Kristen, namun mereka
memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa.
Hal ini memudahkan tentara Islam untuk memasuki negeri itu. Selain itu,
kedatangan tentara Islam dengan membawa prinsip toleransi beragama telah
mendorong penduduk Yerusalem untuk mengadakan perjanjian damai dengan
pihak Islam. Perjanjian itu dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab
sendiri dan patriarch (pimpinan) Yerusalem yang menyerahkan kunci kota
itu kepadanya. Prinsip ini telah menarik banyak penduduk untuk memeluk
agama Islam. Sejak itu, Palestina berada dalam kekuasaan Islam di bawah
kegubernuran Mesir. Penduduknya menikmati keamanan dan ketentraman,
bahkan di masa pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbas banyak di antara
mereka yang berpengaruh di dalam urusan kenegaraan.
Ketika
dunia Islam mengalami masa disintegrasi atau terpecah belah
(1000-1250), Palestina pernah berkali-kali menjadi arena Perang Salib.
Dengan jatuhnya Asia Kecil (Anatolia) ke tangan Dinasti Seljuk, umat
Kristen Eropa yang akan melakukan ziarah ke Palestina terhalang
perjalanannya. Untuk membuka kembali jalan itu Paus Urbanus II berseru
kepada umat Kristen Eropa di tahun 1095 supaya mengadakan perang suci
terhadap Islam. Perang Salib I terjadi antara tahun 1096 dan 1144.
Perang Salib II antara tahun 1144 dan 1192. Perang Salib III antara
tahun 1193 dan 1291. Namun, mereka tidak pernah berhasil merebut
Palestina dari kekuasaan Islam.
Selama
400 tahun Palestina berada di bahwa kekuasaan Ottoman Turki. Hal ini
dimulai pada tahun 1517 dalam rangka serangan Sultan Salim I terhadap
Mamluk Mesir dan berakhir pada tahun 1917/1918, ketika Inggris merebut
kawasan Bulan Sabit (Fertile Crescent ) dari pendudukan
orang-orang Usmani. Periode antara abad ke-18 dan ke-20 merupakan masa
perubahan-perubahan dramatis. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu: (1) Penetrasi (penerobosan) bangsa asing
dan keterlibatan mereka dalam urusan-urusan negeri membuat Palestina
menjadi arena persaingan di antara kekuatan-kekuatan Eropa; (2)
pertambahan penduduk meledak dengan emigrasi Yahudi-Eropa secara
besar-besaran sebagai akibat penindasan terhadap mereka di Eropa Timur;
(3) menjadi pasar dunia akibat terjadinya perkembangan ekonomi dan
meluasnya hubungan antar negara; (4) perubahan dalam peran pemerintahan
dan struktur administrasi; (5) munculnya kekuatan-kekuatan sosial baru;
dan (6) terbukanya jalan bagi pengaruh-pengaruh kultural Barat. Semua
perubahan ini dan perkembangan kontemporer lainnya telah meninggalkan
bekas bagi konflik yang tak kunjung selesai sampai dewasa ini.
Dalam
pada itu, sejak serangan berbagai bangsa datang silih berganti terhadap
Palestina, umat Yahudi meninggalkan negeri ini dan mengadakan diaspora
( penyebaran) di berbagai negeri, seperti di Maroko, Spayol, Rusia, dan
Polandia. Watak keturunan terhadap bangsa lain, sifat individualitas
serta anggapan bahwa mereka merupakan bangsa pilihan, menimbulkan
kebencian terhadap bangsa ini. Akibatnya, mereka sering dikejar-kejar
oleh penduduk asli setempat. Keadaan seperti ini menimbulkan kesadaran
mereka untuk kembali ke tanah asal, Palestina. Kesadaran ini melahirkan
sebuah gerakan yang disebut Zionisme. Pendirinya adalah Theodore Herzl
yang pada tahun 1896 menerbitkan Der Judenstaat (The Jewish State = Negara Yahudi). Buku ini berisi seruan kepada bangsa Yahudi untuk membentuk sebuah negara Yahudi, yaitu Palestina.
Dalam
Perang Dunia I (1914-1918) Turki berpihak pada Jerman dan
Austria-Hongaria melawan Sekutu. Inggris yang berada di pihak Sekutu
untuk merebut pengaruh bangsa Yahudi, melalui menteri luar negerinya,
Arthur James Balfour, mengeluarkan sebuah deklarasi (2 November 1917)
dikenal dengan “Deklarasi Balfour”. Deklarasi ini memberi dukungan bagi
terbentuknya national home bangsa Yahudi di Palestina, tanpa
mengganggu hak-hak bangsa non-Yahudi di daerah itu. Seusai perang dengan
kekalahan di pihak Jerman, wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Ottoman,
kecuali Anatolia (Asia Kecil), dibagi dalam daerah-daerah mandat.
Palestina sendiri menjadi daerah mandat Inggris. Bangsa-bangsa Arab
menolak deklarasi dan permandatan itu.
Ketika
Naziisme lahir di Eropa, gelombang pengungsi Yahudi ke Palestina mekin
besar dan dukungan terhadap negara Israel makin meluas. Pada tahun 1931,
jumlah penduduk Palestina mencapai 1.035.821 jiwa dengan komposisi:
759.712 Muslim, 83.610 Yahudi, 91.398 Kristen, dan 10.101 jiwa dari
kelompok-kelompok lain. Antara tahun 1936-1939 bangsa Arab Palestina
memberontak terhadap kekuasaan Inggris. Usul pembagian Palestina ke
dalam wilayah Arab dan Yahudi ditolaknya. Pada tahun 1939, Inggris
membatasi permukiman Yahudi di Palestina dan mengakhiri semua imigrasi
bangsa Yahudi dalam lima tahun. Pada tahun 1944, penduduk Palestina
mencapai sekitar 1.764.000 jiwa dengan komposisi: 1.179.000 Arab,
554.000 Yahudi, 32.000 dari unsur lain. Selama perang dunia II
(1939-1945) bangsa Arab dan Yahudi Palestina menghentikan perlawanan
terhadap Inggris dan bergabung pada Sekutu. Pada akhir perang, Nazi
membunuh sekitar enam juta Yahudi Eropa, tetapi keterangan ini dibantah
oleh pihak Yahudi.
Inggris
mengimbau PBB untuk menangani masalah Palestina. Pada 29 November 1947,
Rekomendasi Komisi Istimewa PBB untuk Palestina membagi wilayah ini
untuk menjadi negara Arab dan negara Yahudi. Sementara itu, Yerusalem
berada di bawah pengawasan internasional. Keputusan sidang umum PBB ini
diterima oleh bangsa Yahudi, tetapi ditolak oleh bangsa-bangsa Arab.
Perang Arab-Israel pecah. Pada bulan Mei 1948, setelah Inggris
mengundurkan diri dari Palestina, negara Israel diproklamasikan dengan
ibu kota Yerusalem. Bangsa Arab Palestina dibantu bangsa-bangsa Arab
lainnya menyerbu Israel. Gencetan senjata yang diprakarsai PBB terjadi
pada tahun 1948 dan 1949 tanpa penandatanganan perjanjian damai.
Tahun
1949-1967 merupakan periode berkobarnya kesadaran nasionalisme
Palestina. Berbagai organisasi revolusioner dengan berbagai ideologinya
(seperti Nasserisme, Ba’sisme dan Marxisme) bermunculan. Di antaranya
yang terpenting ialah PLO (Palestina Liberation Organization), didirikan
pada konferensi puncak Arab tahun 1964, bertujuan mendirikan negara
Palestina bagi bangsa Arab. Pada Juni 1967, perang Arab-Israel pecah
kembali selama enam hari. Gencetan senjata mengakhiri perang itu, tetapi
Israel menduduki seluruh Palestina dan daerah-daerah di luar Palestina
yang didudukinya ketika gencetan senjata itu terjadi.
Perang
Arab-Israel ke-4 pecah tahun 1973 dan berakhir dengan gencetan senjata
pada tahun 1974. Bangsa Arab dan PLO terus-menerus melakukan serangan
terhadap Israel. Sementara itu, dalam konflik ini arus pengungsi
Palestina dan masalah perbatasan telah melibatkan negara-negara tetangga
seperti; Mesir, Yordania, Suriah dan Libanon. Kunjungan presiden Mesir,
Anwar Sadat ke Israel pada tahun 1977 dan pengakuannya di hadapan
parlemen Israel atas hak hidup bangsa Israel tidak berhasil
menyelesaikan krisis. Perundingan Camp David pada September 1978 yang
mempertemukan Anwar Sadat, Menachem Begin (PM Israel), dan Jimmy Carter
(presiden Amerika Serikat), baru sedikit menyelesaikan masalah Sinai.
Status otonom daerah Tepi Barat dan Jalur Gaza masih menjadi masalah
besar.
Invasi
Israel terhadap Libanon tahun 1982 membuat hubungan Israel-Mesir
menjadi buruk. Hubungan itu putus setelah serangan Israel terhadap
Beirut dan pembantaian terhadap pengungsi di kamp Palestina oleh milisi
Phalangi yang bersekutu dengan Israel. Tahun 1980-an masa depan Tepi
Barat Yordan semakin membingungkan. Ada kemungkinan kawasan itu masuk
wilayah Yordania, dianeksasi oleh Israel, menjadi negara Palestina yang
terpisah di Tepi Barat dan Jalur Gaza, menjadi kesatuan bangsa Palestina
yang diidentifikasikan dengan bangsa Yordania atau digabungkan dengan
Israel. Tahun 1982 presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, mengusulkan
resolusi perdamaian yang didasarkan atas aturan bahwa penentuan nasih
bangsa Palestina harus dicapai dalam hubungannya dengan Yordan.
Peristiwa ini telah mengakibatkan rekonsiliasi (pertemuan kembali)
antara Raja Husein dan pemimpin PLO, Yasser Arafat. Para penguasa Israel
di Tepi Barat tidak mendapat simpati dari mayoritas penduduk. Kemudian
sebuah penelitian yang diadakan oleh penguasa Israel pada awal musim
panas 1986 menyimpulkan bahwa PLO akan memperoleh kemenangan yang
menentukan jika pemilihan diadakan di Jalur Gaza.
Pada
bulan Februari 1990, PLO memproklamasikan kemerdekaan bagi negara
Palestina-Arab dan mendapat pengakuan dari sejumlah negara, termasuk
Indonesia. Peristiwa ini bukan akhir dari krisis politik Timur Tengah.
Kerusuhan dan penganiayaan oleh tentara Israel terhadap orang-orang Arab
terus berlangsung. Perdamaian Palestina dan Israel serta Arab dan
Israel diupayakan dengan mengadakan Konferensi Timur Tengah di Madrid
(Oktober 1991) dan diteruskan di Washington DC. Israel tidak hadir pada
waktunya dan negara sponsor pun (Amerika Serikat dan Uni Soviet) tidak
dapat berbuat banyak. Prioritas tersebut mendapat makna lebih penting
sekitar 30.000 warga Israel pendukung gerakan perdamaian berdemontrasi
di Tel Aviv menuntut kompromi wilayah. Unjuk rasa yang dipimpin oleh
gerakan perdamaian Peace Now (Damai Sekarang) itu mendesak PM Yitzhak
Shamir memilih tangkai zaitun sebagai lambang perdamaian dan mengulurkan
tangan bagi perdamaian. Hal ini mendapat tantangan dari kelompok yang
menolak kompromi dan ingin terus menduduki wilayah Palestina dan Arab
yang diduduki Israel sejak perang 1967.
Pada
tanggal 13 September 1993 tercapai perdamaian Israel-Palestina di
Washington DC. Penandatanganan perjanjian perdamaian yang dilakukan oleh
PM Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat disaksikan oleh presiden AS Bill
Clinton. Perjanjian tersebut antara lain berisi penyerahan pemerintahan
atas wilayah Jericho dan Jalur Gaza kepada Palestina. Kelangsungan
perjanjian tersebut masih perlu diuji lebih lanjut karena masih banyak
persoalan yang mengganjal, seperti status jutaan pengungsi Palestina dan
wilayah timur kota suci Yerusalem yang masih diduduki tentara zionis
Israel.
Klaim-klaim Yahudi atas Palestina
Penjajahan
Yahudi atas Palestina didasari klaim-klaim serta mitos-mitos relijius
dan historis. Secara relijius mereka menganggap bahwa Allah telah
menjadikan Palestina sebagai “Tanah yang dijanjikan”. Sedangkan relasi
historis mereka dengan Palestina, adalah karena mereka pernah berkuasa,
bermukim disana dan punya hubungan psikis dan spiritual dengan negeri
ini.
Akan
tetapi kaum muslimin tetap konsisten pada pendirian bahwa Yahudi tidak
berhak sama sekali atas negeri ini. Alasannya adalah, pertama, dari
sudut pandang agama, wilayah ini diberikan pada bangsa Yahudi di saat
mereka menjunjung tinggi bendera tauhid dengan penuh konsisten di bawah
kepemimpinan para rasul dan pemuka agama mereka. Adapun apabila mereka
melenceng dari kebenaran dan berupaya mendistorsinya, bahkan membunuhi
para Nabi serta membuat keonaran di muka bumi, hilanglah keabsahan
relijius yang mereka klaimkan. Yang berhak atas negeri ini justru adalah
kaum Muslimin, karena mereka adalah pewaris panji tauhid. Jadi,
persoalannya tidak terkait dengan bangsa, keturunan, dan nasionalisme.
Namun erat hubungannya dengan persoalan ikut tidaknya seseorang dengan
ajaran tauhid. Allah memberitahu Ibrahim bahwa keimanan dan
kepemimpinannya tidak dapat dipegang oleh mereka yang zalim dari
keturunan dan anak cucunya. Karena, sekali lagi, persoalannya terkait
dengan konsistensi terhadap manhaj dan ajaran Allah. Kalau persoalannya
adalah masalah garis keturunan, maka Bani Israel tidak berhak mengklaim
bahwa mereka adalah satu-satunya yang berhak atas kepemimpinan.
Pasalnya, Ismail as dan keturunannya pun berhak atas janji yang
diberikan pada Ibrahim.
Alasan kedua, menanggapi
klaim dari sisi historis, maka sesungguhnya pemerintahan Bani Israel di
Palestina sangatlah singkat yang tidak lebih dari 4 abad di sebagian
wilayah Palestina dan bukan seluruhnya. Sedangkan pemerintahan Islam
berlangsung disana selama 12 abad (636-1917 M) yang sempat dijeda oleh
peperangan Salib untuk beberapa masa. Selain itu sebagian besar bangsa
Yahudi telah meninggalkan wilayah Palestina, dan terputus kontak mereka
dengan negeri ini selama 18 abad (sejak 135 M hinga abad 20), sedangkan
penduduk pribumi asli Palestina asli—yang kemudian masuk Islam—belum
pernah meninggalkan negeri ini selama 4500 tahun yang lalu hingga tiba
waktu pendeportasian besar-besaran yang dilakukan para kriminal Zionis
pada tahun 1948 M.
Satu hal lagi, sesungguhnya lebih dari 80% Yahudi di zaman ini tidak jelas hubungannya sama sekali dengan Bani Israel, baik keturunan maupun sejarah. Hal itu karena sebagian besar Yahudi kontemporer adalah bangsa Yahudi Khazar yang berasal dari kabilah Tatar, Turki kuno yang berdiam di wilayah Kokaz dataran tinggi Georgia (selatan Rusia). Mereka berkonversi dengan Yahudi pada abad 8 SM di bawah pimpinan rajanya Bolan.Tahun 740 M saat kerajaan mereka runtuh, tersebarlah mereka ke berbagai penjuru Rusia dan timur Eropa. Mereka kemudian disebut Yahudi Askhenazi. Golongan Yahudi ini adalah penganut sekte sesat Qabalisme. Golongan yang lain adalah Yahudi Sephardim, berasal dari kerajaan Yahuda yang berpegang pada Taurat Musa, saat ini mereka paling menderita akibat berkembangnya gerakan zionis. Mereka akhirnya terusir dari kampung halamannya di berbagai negara Arab. Ketika beremigrasi ke Israel pun mereka menjadi warga negara kelas dua dan mendapat perlakuan diskriminatif dari Yahudi Askhenazi yang menguasai politik dan ekonomi negara.
Satu hal lagi, sesungguhnya lebih dari 80% Yahudi di zaman ini tidak jelas hubungannya sama sekali dengan Bani Israel, baik keturunan maupun sejarah. Hal itu karena sebagian besar Yahudi kontemporer adalah bangsa Yahudi Khazar yang berasal dari kabilah Tatar, Turki kuno yang berdiam di wilayah Kokaz dataran tinggi Georgia (selatan Rusia). Mereka berkonversi dengan Yahudi pada abad 8 SM di bawah pimpinan rajanya Bolan.Tahun 740 M saat kerajaan mereka runtuh, tersebarlah mereka ke berbagai penjuru Rusia dan timur Eropa. Mereka kemudian disebut Yahudi Askhenazi. Golongan Yahudi ini adalah penganut sekte sesat Qabalisme. Golongan yang lain adalah Yahudi Sephardim, berasal dari kerajaan Yahuda yang berpegang pada Taurat Musa, saat ini mereka paling menderita akibat berkembangnya gerakan zionis. Mereka akhirnya terusir dari kampung halamannya di berbagai negara Arab. Ketika beremigrasi ke Israel pun mereka menjadi warga negara kelas dua dan mendapat perlakuan diskriminatif dari Yahudi Askhenazi yang menguasai politik dan ekonomi negara.
terimakasih atas infonya. tapi ada hal yang ingin sayatanyakan.
BalasHapusbila nama Israel itu berasal dari kata "Bani Isroil" yang sudah ada sejak jaman nabi Musa as. maka nama Palestina mulai diperkenalkan kapan??
saya tidak tahu kapan kemunculan nama palestine.
Hapusdalam agama kristen pula sangat peduli permasalahan tanah al quds ini : Tuhan, di masa lalu, benar telah memberi tanah Palestina kepada bangsa Yahudi, namun pemberian ini tidaklah bentuk penafian kebolehan bangsa non-Yahudi untuk mempunyai tanah di Israel, sebagaimana terdapat di dalam kisah Ephron dan Ornan (Silakan bandingkan pula dengan Bilangan 9:14).
Janji Tuhan kepada bangsa Yahudi terhadap tanah Palestina tidak berlaku kepada bangsa Yahudi sebab janji tersebut bersyarat yaitu kepatuhan kepada Tuhan (lihat Kitab Kejadian 17:9-14; Keluaran 19:5-6, Ulangan 7:12; Yoshua 23:15-16, 1 Raja-raja 9:6-9, 2 Tawarikh 7:19-22, Yehezkiel 33:24-27). Tuhan akhirnya menggunakan bangsa Romawi untuk mengusir bangsa Yahudi dari tanah yang dijanjikan di tahun 70 S.M. sebagai bentuk hukuman terhadap pelanggaran kepatuhan akan perintah Tuhan: penolakan dan penyaliban Messiah mereka (Matius 21:33-43, 23:38).
thank's... bacaan malam ini nih... :)
BalasHapussangat bermanfaat
BalasHapusbermanfaat ... mantap
BalasHapus