Menuju NKRI Bersyariah
Jangan sekali-kali melupakan sejarah! Itulah kata-kata Sukarno yang
terkenal dengan istilah “Jas Merah”. Sejarah memang merupakan hal penting yang
berisi banyak pelajaran dan jalan mengetahui identitas diri. Bagi umat Islam
Indonesia, di dalam sejarah bangsa ini kita akan melihat rentetan sejarah panjang
umat Islam bangsa Indonesia dalam mempertahankan tanah air, menjaga kehormatan
dan berjuang menerapkan syariat Islam.
Sejarah itu adalah perjalanan perjuangan umat Islam bangsa Indonesia untuk
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sejarah itu adalah rentetan
kalimat takbir dalam mengusir penjajah dan dakwah untuk islahul ummah
(perbaikan umat). Perjuangan yang tulus ikhlas pernah berbuah. Buah dari semua
itu adalah dengan di-proklamasikannya Indonesia sebagai negara yang merdeka. Hari
ini, sejarah itu masih terus ditulis dan diukir.
NKRI Harga Mati?
Kita sering
mendengar dari sekelompok masyarakat, bahwa berdiri tegaknya NKRI adalah harga
mati. Ada juga yang mengatakan bahwa NKRI adalah buah karya perjuangan para
ulama yang harus kita hormati dan kita rawat hasilnya. Lalu seperti apakah
pengertian yang harus dibangun dari statement “NKRI Harga Mati” tersebut
bagi seorang muslim? Bagaimana memaknainya dalam bingkai keislaman kita?
Kita memang
tidak bisa memungkiri bahwa para founding father negara ini adalah para
ulama dan mujahid dakwah. Di antara mereka adalah Ki Bagus Hadikusumo, Kasman
Singodimejo, dan M. Natsir. Tentu saja rumusan konstitusi yang dihasilkan oleh
mereka adalah konstitusi yang Islami. Akan tetapi, hari ini kita lihat
Pancasila dan UUD 1945 dihadapkan vis a vis dengan umat Islam.
Dr. Adian
Husaini dalam bukunya Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat
Islam (GIP, 2009) menyebut ironi ini dengan “kesalahpahaman dan
penyalahpahaman”. Tafsir atas Pancasila disalahpahami dan diselewengkan oleh
kelompok sekular yang berkuasa. Dibuatlah seolah-olah Pancasila itu sakti,
seolah-olah Pancasila itu segala-galanya. Seolah-olah ia adalah ideologi dan
aqidah yang lengkap dan tetap (tsabit). Padahal, di saat yang bersamaan,
kelompok politik dibalik gerakan ideologisasi Pancasila yang sekular itu
melakukan pengkhianatan terhadap amanat para founding father kita yang
telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara an sich.
Pancasila ketika
itu dijadikan hanya sebatas penyataan umum untuk mengikat keragaman yang ada di
seluruh wilayah tanah air. Namun ikatan tersebut sudah dirumuskan susah-payah
dalam musyawarah anggota BPUPKI dan PPKI dengan cita-cita luhur dan amanah yang
agung. Cita-cita dan amanah itu adalah Syariat Islam yang tertuang dalam Djakarta
Charter dan Muqadimah UUD 1945.
Bahkan, jika
kita menengok sejarah kemerdekaan, Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang
diproklamasikan dengan syariat Islam. Pada hari proklamasi kemerdekaan, 7 kata
kesepakatan yaitu “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”
masih menjadi bagian dari konstitusi yang dideklarasikan. Ketika itu, tentu
saja Indonesia patut dan layak untuk disebut sebagai Negara Islam, meskipun
belum sempurna.
Setelah
dicoretnya 7 kata kesepakatan tersebut dan terjadi berbagai pengkhianatan
terhadap proklamasi, Djakarta Charter dan Muqadimah UUD 1945 maka
generasi setelah itu mulai melupakan bahwa Negara Pancasila adalah negara
yang merdeka atas berkat rahmat Allah dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam. Saat itu, umat Islam masih dalam kondisi berjuang untuk
mempertahankan kemerdekaan dan menyempurnakan penerapan syariat Islam (tathbiqus
syariah) dalam kehidupan bernegara. Namun, karena faktor politik, ada
banyak hal yang membuat posisi umat Islam terbagi secara faktual. Saat
pemerintah Indonesia terpaksa dipindahkan ke Yogyakarta, muncul gerakan
penyelamatan Jawa Barat dari para mujahid yang dipimpin oleh Kartosuwiryo.
Gerakan ini kemudian menyatakan diri merdeka dan memproklamasikan berdirinya
Negara Islam Indonesia (NII) atau yang dikenal sebagai DI/TII. Berbagai konflik
politik dan pertikaian bermunculan. Perdebatan seputar status negara dan wacana
negara Islam pun naik ke permukaan.
Para tokoh
kemerdekaan terus berjuang untuk mengembalikan keutuhan tanah air Indonesia.
Para ulama pun melanjutkan perjuangan tathbiqus syariah. Hingga pada
saat Presiden Sukarno menyatakan Dekrit 5 Juli 1959, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) ditetapkan kembali kepada Piagam Jakarta. Kasman Singodimejo
menulis dalam biografinya:
“Maka, Piagam
Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan UUD 1945 itu,
bahkan merupakan jiwa yang menjiwai UUD 1945 tersebut. Djakarta Charter dan UUD
1945 merupakan suatu unit atau kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan
lagi.” [Hidup Itu Berjuang]
NKRI Bersyariah!
Hari ini Indonesia menangis. Rakyat sudah sedemikian susah, bahkan untuk
sekedar mencari sesuap nasi. Mencermati keadaan NKRI yang cenderung semakin
tidak stabil dan keadaan semakin kacau akibat tatanan ekonomi yang
semakin kapitalistik-liberalistik, di mana seluruh sektor kekayaan rakyat
dikuasai oleh antek-antek dan pemodal asing serta sistem politik yang semakin
berbiaya tinggi akibat sistem pilihan langsung demokratis liberal. Penerapan
sistem ekonomi dan politik liberal yang sangat berpihak kepada asing dan
mengeksploitasi rakyat yang mayoritas muslim ini menyebabkan korupsi merajalela,
pengangguran semakin banyak, daya beli masyarakat semakin turun, rakyat semakin
sengsara, moral ambruk, dan hedonisme merajalela. Munculah gagasan NKRI
Bersyariah! Sebuah gagasan yang wajar dan tidak baru. Wajar karena memang
setiap umat Islam wajib mengamalkan syariat Islam dalam kehidupannya. Tidak
baru karena memang NKRI itu dipersiapkan untuk bersyariah oleh para founding
father bangsa ini. Gagasan ini diangkat ke permukaan dan dimotori oleh
ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Forum Umat Islam pada akhir tahun 2011.
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya 31 Mei 2005 pernah diadakan sebuah
deklarasi Forum Silaturrahim Masyarakat Peduli Syariah (MPS) di Masjid
Al-Furqan Dewan Dakwah, Jakarta Pusat. MPS lalu menggagas sosialisasi Gerakan
Nasional Penerapan Syari’at Islam dalam Pengelolaan Bangsa & Negara untuk
Kejayaan NKRI pada bulan Maret 2009. Bersamaan dengan itu, diterbitkanlah
sebuah buku saku yang berjudul, Menepis Islamophobia dalam Pengelolaan NKRI.
Buku ini ditulis oleh Bambang Setyo,
Ketua Presidium MPS. Bambang Setyo yang notabene seorang alumni Kursus
Reguler Angkatan XXXV Lemhanas tahun 2002 menyatakan dalam buku tersebut, bahwa
pada awal reformasi Majelis Permusyawaratan Rakyat RI telah menetapkan Tap MPR
RI No. XVIII/MPR/1998 yang isinya adalah pengembalian fungsi Pancasila sebagai
dasar negara an sich. Bersamaan
dengan ini dicabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila.
Syariat
Islam untuk Kemerdekaan Indonesia
Perjalanan sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa perubahan-perubahan
yang terjadi tidak membuat syariat Islam harus dilupakan atau disingkirkan.
Bahkan tidak benar jika membenturkan Syariat Islam dengan Pancasila dan
Konstitusi. Pancasila bukan untuk menindas hak konstitusional umat Islam.
Bahkan Syariat Islam tercantum dalam dokumen hukum yang berulangkali dikukuhkan
sebagai konstitusi.
Hari ini, kemaksiatan meluas terjadi dimana-mana. Dalam sebuah buku
yang berjudul Bahaya! Indonesia Menuju Keruntuhan disebut bahwa sebuah
bangsa akan hancur jika kemaksiatan merajalela, sedangkan hukum tak mampu
menyentuh kejahatan kaum mutrafin (pembesar/pejabat/kapitalis). Atas
kegelisahan dan keresahan ini, dan dengan dorongan untuk melanjutkan perjuangan
para founding father bangsa ini, umat Islam bangkit untuk menyerukan
syariat Islam.
Saat ini, dalam menyerukan
tathbiqus syariah, umat Islam bangsa Indonesia seolah-olah terpecah
dalam dua kubu yang bertentangan. Kubu pertama menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara Islam, sedangkan kubu kedua menyatakan bahwa Indonesia bukan
negara Islam. Akan tetapi, mereka memiliki kesepakatan untuk menerapkan syariat
Islam.
Perjalanan sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah bergonta-ganti
konstitusi. Dr. Anhar Gonggong, seorang guru besar di bidang sejarah bahkan menjelaskan
bahwa Indonesia sudah memiliki tiga konstitusi untuk menyelamatkan dan
mempertahankan kemerdekaannya. Beliau dalam bukunya yang berjudul Menengok
Sejarah Konstitusi Indonesia (Ombak, 2002) menjelaskan secara ringkas dan
padat posisi masing-masing konstitusi dalam perspektif sejarah. Beliau
berpendapat bahwa merubah konstitusi bukanlah kesalahan. Justru sebaliknya
merupakan kesalahan besar jika kita membiarkannya beku. Tentu ini bukan berarti
kita boleh mencampakkan hasil karya para founding father bangsa ini.
Akan tetapi sebaliknya, kita harus melanjutkan cita-cita mereka. Jangan jadikan
konstitusi yang tetap, tapi tetapkanlah syariat Islam sebagai jalan untuk mencapai
kemerdekaan yang hakiki. [red/mrh/ Majalah Tabligh edisi Rajab - Syaban 1433]
sumber: http://tabligh.or.id/2012/menuju-nkri-bersyariah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar